Senin, 24 Januari 2011

Berharap Menjaring Devisa dari Si Nila

Mewabahnya penyakit sapi gila di Eropa dan Amerika ternyata membawa berkah bagi sektor industri lain. Lantaran takut tertular penyakit tersebut, warga dunia pun mengurangi konsumsi daging sapi. Sebagai penggantinya, kini mereka mulai gemar melahap daging ikan.
Nah, salah satu sumber protein asal hewan air yang paling diminati pasar dunia adalah fillet (potongan daging tanpa tulang) ikan nila. Sehingga, tak pelak, permintaan pasar dunia terhadap jenis fillet tersebut belakangan meroket drastis. Untuk memenuhi kebutuhan di Amerika saja, misalnya, tiap tahunnya diperlukan 90 juta ton. Belum lagi permintaan yang dilayangkan sejumlah negara importir lainnya, seperti Jepang, Singapura, Hong Kong, dan Eropa, yang skalanya juga terbilang wah.
Hingga saat ini, pemasok fillet nila terbesar dunia adalah Cina, Indonesia, Thailand, Taiwan, dan Filipina. Tapi yang menarik, jika semua pasokan tersebut ditotal, ternyata jumlahnya masih jauh di bawah angka kebutuhannya. Paling banter baru bisa memenuhi setengahnya.
Ekspor fillet nila dari Indonesia hingga saat ini hanya mampu melayani tak lebih dari 0,1% dari permintaan pasar dunia. Dus, melihat pasarnya yang masih begitu menganga, sektor bisnis budi daya ikan bernama latin oreochromis niloticus ini di dalam negeri juga bisa didongkrak menjadi salah satu andalan buat pemasukan devisa negara. Harga fillet nila asal Indonesia di pasaran ekspor pun lumayan tinggi, setiap kilogramnya rata-rata US$ 5, alias hampir Rp 50.000.
Ada sejumlah alasan mengapa fillet nila sangat digemari pasar dunia. Warna dagingnya putih bersih, kenyal, dan tebal seperti daging ikan kakap merah. Rasanya pun netral (tawar), sehingga mudah diolah untuk berbagai rasa masakan. Karena merupakan hasil budi daya, pasokannya bisa diperoleh setiap saat tanpa terpengaruh musim.
Nah, untuk merangsang agar produksi serta kualitas nila dalam negeri meningkat, berbagai ikhtiar untuk itu pun dilakukan, di antaranya yakni pengembangan bibit seperti yang sedang digencarkan Departemen Perikanan dan Kelautan (DPK) bersama Balai Budi Daya Air Tawar (BBAT) Jambi. Hasilnya sudah bisa dipetik pada Desember 2004, seiring dengan lahirnya nila—atau tilapia—varietas unggul yang disebut sebagai nila jica.
Nila jica merupakan hasil rekayasa genetik yang dilakukan sejak tahun 2002. Proyek ini sepenuhnya dibantu oleh JICA (Japan for International Cooperation Agency, lembaga donor Pemerintah Jepang), karena itu pula jenis nila ini dinamakan nila jica. Jenis nila ini didapat dari hasil pengembangan lembaga riset Kagoshima Fisheries Research Station di Jepang. Kemudian, oleh BBAT Jambi, ikan ini dikembangkan lagi, hingga akhirnya muncul varietas baru tadi.
Lahirnya nila jica bagi negeri ini, so pasti, memperkaya varietas unggulan berkualitas ekspor. Sebelumnya, ada pula nila gift—genetic improvement of farmed tilapias—hasil pengembangan International Center for Living Aquatic Resources Management (ICLARM) di Filipina, yang kesohor sebagai ikan berkualitas terbaik di dunia. Pada Konferensi Perikanan Sedunia di Bangkok (Thailand), 1996, nila gift dinobatkan sebagai ikan abad ke-21. Selain paling digemari pasar dunia, pertumbuhan spesies ini juga tergolong paling cepat—bahkan tiga kali lebih cepat dibanding ikan mujair. Varietas unggul ini masuk ke Indonesia sekitar tahun 1990-an. Tapi penyebarannya baru meluas sejak tahun 1999.
PERTUMBUHANNYA LEBIH CEPAT
Ikan nila bisa hidup di perairan air tawar hampir di seluruh Indonesia. Jenis ikan ini sebenarnya bukan satwa asli Indonesia. Habitat aslinya adalah Sungai Nil di Mesir. Ikan ini kemudian didatangkan oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1969 dari Taiwan. Jenis ikan ini tergolong hewan omnivora (pemakan segala), jadi bisa diberi pakan apa saja asalkan sesuai dengan besar mulutnya, misalnya udang, kerang kecil, atau pelet. Selain itu, karena ikan ini juga memiliki toleransi lingkungan yang cukup besar, sehingga pembudidayaannya sangat mudah.
Tapi, khusus budi daya nila gift dalam skala besar, entah mengapa, hingga saat ini masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Padahal, menurut Dirjen Perikanan Budi Daya, Fatuchri Sukadi, kualitas nila gift nyaris tak berbeda dengan nila jica. Kalaupun ”sejawatnya” yang baru lahir tersebut dinilai lebih unggul, itu karena laju pertumbuhannya yang lebih cepat. Kemampuan induk nila jica juga menghasilkan telur lebih banyak (fekunditas) serta lebih irit pakan hingga 25%.
Ikan nila cenderung senang hidup di air hangat bersuhu sekitar 28 derajat celsius. Ikan ini juga menyenangi kondisi air yang sedikit mengandung basa dengan kisaran pH antara 7,0 dan 8,0. Seyogianya, air tidak boleh tercemar bahan kimia beracun, kandungan oksigen di dalam air minimal 4 mg/liter, serta kandungan karbon dioksida maksimal 5 mg/liter. Ikan ini biasanya dipelihara di kolam air tenang.
Tapi, yang dilakukan sejumlah petani di Subang, Jawa Barat, boleh dibilang sebagai terobosan baru. Kini mereka berhasil memelihara ikan nila di kolam air deras. Hasil yang dipetiknya pun patut dibanggakan. Setelah masa pemeliharaan selama 6-7 bulan, bobot setiap ekornya bisa mencapai 700 gram—ukuran minimal agar ikan ini bisa dijadikan fillet.
Ikan nila dianggap dewasa (matang kelamin) setelah berusia di atas enam bulan. Induk betinanya dapat menghasilkan lebih dari 3.000 butir telur dalam sekali pemijahan (kawin). Tapi, dari telur sebanyak itu, hanya setengahnya yang akan menjadi anakan ikan. Induk ikan nila memiliki masa reproduksi hingga berumur dua tahun dan mampu melakukan pemijahan setiap enam minggu sekali.
Budi daya nila bisa dilakukan dengan menggunakan jaring apung, kolam, atau keramba. Idealnya, tiap meter persegi bisa diisi maksimal 10 ekor anakan. Dari kolam seluas 1.000 meter persegi dengan kedalaman sekitar 1,5 meter, pada saat panen, ikan nila yang dihasilkan bisa seberat 7 ton. Hasil sebanyak itu, jika dibuat menjadi fillet, akan menghasilkan 2,8 ton.
Kita sering mencium aroma tak sedap (bau tanah) dari daging ikan nila. Hal itu dikarenakan air yang digunakan kurang bersih. Untuk itu, petani harus benar-benar memperhatikan kualitas air kolam. Ada berbagai cara untuk itu, di antaranya, sebelum kolam diberi air sebaiknya ditaburi pupuk kandang dan kapur tohor. Dosisnya, 500 gram pupuk kandang dan 50 gram kapur tohor untuk setiap meter persegi. Dengan begitu, air kolam menjadi subur, sehingga phytoplankton bisa hidup dengan baik. Berkat jenis mikroorganisme inilah suplai oksigen di dalam air menjadi lancar. Manfaat kapur juga berguna untuk membasmi bibit penyakit.
Penyakit yang sering menimpa ikan nila di antaranya bintik putih, insang bengkak, dan kulit memerah. Penyakit ini disebabkan serangan jamur dan bakteri. Penanggulangannya yakni pemberian obat antihama yang banyak tersedia di pasar. Petani juga harus waspada terhadap serangga notonecta yang gemar membunuh anakan nila, serta ular dan kodok yang merupakan musuh alami nila.
Majalah Trust/14/2005